pertemuan kembali

Bertemu kembali dengan kawan lama tentu bahagia sekali rasanya, bukan? Apalagi kalau pertemuan tersebut tidak direncanakan sama sekali. Akhir September yang lalu, aku pun bertemu dengan seorang kawan secara tidak terduga ketika menjenguk putriku, Satira, di pondok.

Dulu, di tahun 2000, selama enam bulan kami sama-sama mengikuti diklat di Yogyakarta, yang diadakan oleh Kementrian Agama RI, sebelum kami ditugaskan sebagai dosen di berbagai Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di seluruh Indonesia. Jumlah kami ketika itu ada 40 orang. Selama 6 bulan kami diasramakan dalam sebuah wisma. Hal ini tentu saja membuat kami sangat akrab satu sama lain.

Entah kenapa, aku dan kawanku itu nyaris tidak saling kontak semenjak kegiatan diklat tersebut selesai. Kawanku itu ditempatkan di Makassar, sementara aku di Curup (Bengkulu). Mungkin karena kami sama-sama sibuk membangun karir masing-masing, hehe.. (lebay ah!).

Nah, sewaktu menjenguk Satira kemarin, kami bertemu kembali. Ternyata, putrinya pun nyantri di Gontor Putri, pesantren yang sama dengan Satira. Setelah 13 tahun tidak bertemu, tentu seru sekali rasanya.

Sebenarnya, yang ingin kuceritakan bukan keseruan pertemuanku dengan kawan tersebut, tapi justru pertemuan “kembali” Satira dengan putri kawanku itu.

Pertemuan kembali?

Jadi begini..

Selama masa diklat tersebut, ada beberapa peserta yang membawa serta keluarganya, termasuk aku dan kawanku itu. Kami menyewa kamar kos di seputar wisma tempat diklat dilaksanakan. Aku dan kawan tersebut sama-sama memiliki bayi. Ya, putriku Satira ketika itu masih berumur 3 bulan dan Shafwah, putri kawanku itu pun baru berumur 4 bulan. Jadi, yang akrab tidak hanya kami peserta diklat, tapi juga keluarga kami saling dekat satu sama lain.

Satira dan Shafwah kerap kami ajak bermain bersama. Dan bagi kawan-kawan peserta diklat, kedua bayi tersebut adalah “mainan” yang mengasyikan bagi mereka.

Ketika bertemu kembali di pondok kemarin, kami kembali terkenang masa-masa 13 tahun yang lalu itu. Tapi, tentu saja Satira dan Shafwah tidak ingat dengan masa tersebut, maklum, mereka kan masih bayi waktu itu.. 🙂

Shafwah membawa sebuah album yang berisikan foto-fotonya dan keluarga. Katanya, untuk obat kangen. Ternyata, di dalam album tersebut terdapat foto Satira dan Shafwah 13 tahun yang lalu itu. Inilah foto tersebut:

 
Shafwah dan Satira bayi

Lucu juga jadinya melihat kembali foto tersebut. Segala memori kami waktu dulu itu, kembali terkenang. Sungguh kami tidak menyangka, kalau ternyata dua orang bayi yang dulu tumbuh bersama dan kemudian terpisahkan oleh jarak dan waktu, ternyata secara tidak sengaja kembali dipertemukan dalam sebuah pesantren yang sama. Insya Allah mereka akan kembali tumbuh bersama di pesantren tersebut hingga beberapa tahun ke depan.

Inilah mereka sekarang…

 
Shafwah dan Satira remaja

Pertemuan kemarin itu memang tak terduga, tapi sungguh menyenangkan. Dengan bertemunya kembali putri-putri kami, tentu persaudaraanku dengan kawan tersebut akan semakin erat. Semoga putri-putri kami dapat melalui proses pendidikan di pondok dengan baik dan sukses.

Benar kata orang bijak, “punya sejuta sahabat tidak pernah cukup, punya satu musuh, sudah lebih dari cukup”.

Apakah sahabat semua juga punya pengalaman bertemu kembali dengan kawan lama yang tidak terduga sebelumnya? 🙂

titipkan, jangan serahkan

Sebagian sahabat tentu sudah tahu melalui Facebook bahwa putriku Satira sekarang mondok di Gontor Putri. Sejak 3 Juni 2012 hingga pertengahan Ramadhan nanti, ia akan mukim di sana, menjadi calon pelajar, dibimbing untuk tes masuk dan jika lulus, baru resmi menjadi santriwati Pondok Modern Gontor Putri. (bagi sahabat yang ingin mengetahui tentang informasi pendaftaran di Gontor, sila kunjungi websitenya, http://www.gontor.ac.id atau klik di sini).

Sesungguhnya, rencana Satira untuk bersekolah di Gontor sudah kami bicarakan sejak dari lama. Istriku yang paling keras keinginannya untuk memasukkan Satira ke situ. Aku, meski berstatus sebagai alumni pesantren tersebut, tetap tidak bisa menyembunyikan perasaan. Aku masih diliputi emosi yang membunuh rasionalitas. Aku masih belum sepenuhnya mengiyakan rencana itu. Aku belum tega melepas anak gadisku, jauh-jauh dari sisiku.

Sebelum berangkat, aku tanyakan lagi ke Satira tentang rencana ini.

“Satira yakin akan bersekolah di Gontor?”

“Insya Allah, Pa… Satira akan berusaha..”

Dussss… ada aliran hangat di dadaku. Jawaban Satira semakin menguatkanku. Ah.. baru kusadari, betapa aku telah terkalahkan oleh emosi, meski sebenarnya itu sangat natural dimiliki setiap orangtua.

Jadilah akhirnya akhir pekan kemarin kami sekeluarga ditambah dengan keluarga sahabatku Nasran, yang juga alumni Gontor asal Bukittinggi dan tinggal di Jogja, mengantar Satira dan Arin ke Mantingan, Ngawi, Jawa Timur, tempat Gontor Putri berada. Meski sudah membulatkan tekad, namun masih saja keraguan itu sesekali membayang di benakku. Dan barangkali, hal itulah yang membuat perjalan Jogja-Mantingan terasa berat, walau jaraknya tidak lebih dari 4 jam perjalanan darat.

Arin dan Satira, calon santriwati Gontor Putri

Sesampai di Mantingan, kami langsung menuju Gontor Putri 2 yang terletak bersebelahan dengan Gontor Putri 1. GP 2 adalah khusus untuk tempat pendaftaran bagi calon santriwati. Di situ mereka akan mukim hingga pertengahan Ramadhan nanti. Mereka akan diberi bimbingan materi tes masuk dan yang terutama adalah diberi pembiasaan hidup ala pesantren. Agar, ketika mereka sudah resmi jadi santriwati, sudah tidak canggung lagi dengan aturan Gontor yang bisa dibilang ketat.

Tradisi di Gontor adalah, sebelum mendaftarkan diri, seorang calon pelajar (capel) beserta orangtuanya, harus mendengarkan pengarahan dari Pimpinan Pondok terlebih dahulu. Di sini, beliau akan menjelaskan apa dan bagaimana sistem pendidikan di Gontor. Para capel dan orangtuanya untuk kesekian kalinya diberi peluang untuk memahami lagi Gontor dengan segala sistemnya. Jika benar-benar sudah yakin, maka barulah mendaftar.

Pengarahan seperti ini, menurutku memang sangat dibutuhkan bagi lembaga pendidikan sebelum masa penerimaan siswa. Agar, siswa yang masuk ke lembaga tersebut benar-benar memahami dan mengerti aturan serta sistem yang berlaku, sehingga tidak ada penyesalan di kemudian hari.

Meski aku sudah sering mendengar pengarahan ini dulu, dan meski yang menjadi memberikan pengarahan itu adalah sahabatku sendiri (pimpinan Gontor Putri 2 adalah teman seangkatanku waktu di Gontor dulu), namun kalimat penutup yang beliau sampaikan cukup memberikan ketenangan padaku.

Beliau mengatakan, “Jangan serahkan anak Bapak/Ibu ke Gontor, tapi titipkan”.

Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa “menyerahkan” tidak mengandung arti kerjasama di dalamnya, tapi, “menitipkan” terdapat kerjasama aktif di dalam maknanya. Dalam kata TITIP itu sendiri, terdapat penjabaran yang lebih kurang seperti ini:

TI (yang pertama) = tega dan ikhlas. 

Agar anak bisa sukses di pesantren, maka orangtua harus tega dan ikhlas melepas anaknya tumbuh dan berkembang di sana. Harus tega  meninggalkan anaknya, meski sang anak menangis ketika ditinggal. Harus tega dan ikhlas melihat anaknya bersusah payah mengatasi segala urusannya sendiri.  

TI (yang kedua) = tabah dan istiqamah

Agar proses pendidikan anak bisa berhasil di pondok, maka orangtua harus tabah menjalani semuanya dan tetap istiqamah (konsisten) dengan niatan itu. Artinya, janganlah mudah surut hanya karena rengekan atau keluhan dari sang anak. Tetaplah konsisten dengan niatan semula. Sebab, menuntut ilmu itu tidaklah mudah, apalagi bagi anak yang terpisah dari orangtua, pastilah banyak halangan dan rintangan yang dihadapi. Jika orangtua tidak tabah dan istiqamah dalam menjalaninya, sedikit saja rengekan dari anaknya, akan dengan mudah membuat mundur dan tidak lagi melanjutkan pendidikan yang sudah direncanakan.

P = percaya

Dan semua itu dasarnya adalah percaya bahwa Gontor tidak akan menyia-nyiakan anak didiknya. Dengan niat yang tulus, proses pendidikan akan dijalankan dengan baik. Keikhlasan yang menjadi prinsip utama pendidikan di situ, insya Allah akan mampu memberikan pendidikan yang baik bagi para santrinya.

Ahhh.. Aku baru tersadar dengan itu semua. Aku seolah baru terjaga dari tidurku. Aku baru ingat semuanya.. 

Ya.. apa yang dikatakan oleh pimpinan pondok tadi adalah benar adanya. Dan, aku bisa membuktikannya. Sebab, aku menjalaninya sendiri. Keikhlasan adalah kata kunci paling utama dalam pendidikan di Gontor; Kyai ikhlas memimpin, Guru ikhlas mengajar, Santri ikhlas belajar dan orangtua ikhlas menitipkan anaknya di pondok. Insya Allah dengan itu, semuanya akan berjalan dengan baik.

Alhamdulillah, dengan kalimat-kalimat motivatif tersebut tadi, akhirnya akupun plong menitipkan gadis kecilku di sana. Harapanku, semoga Satira dan Arin benar-benar bisa mereguk siraman ilmu pengetahuan dan agama yang sesungguhnya di sana dengan penuh keikhlasan dan kebahagiaan.

Mohon doanya ya sahabat sekalian, agar mereka bisa diterima menjadi santriwati di sana..

Sebelum pulang, Satira sambil berpelukan dengan Ajib dan Fatih berseloroh, “Eh, Uni titip Kitten ya. Tolong jagain, jangan lupa kasi makan dan mandiin”.

Hahaha.. sahabat mau tahu siapa itu Kitten?

Nah… ini dia… 😀


napaktilas

Sejak membaca tulisan Nechan Imelda tentang kebiasaan kita memperkenalkan tempat kerja ataupun segala hal yang pernah kita lalui kepada anak-anak, aku jadi terinspirasi untuk melakukannya. Memang ada banyak hal yang belum dipahami oleh anak-anakku tentang kehidupan yang pernah dan sedang kujalani. Sebagai contoh, kampus tempatku mengajar, di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Curup, belum pernah sekalipun aku mengajak mereka ke sana. Ada banyak alasan yang menyebabkannya, salah satunya karena terpisah oleh jarak yang cukup jauh. (saran Nechan Imelda itu dapat di baca di sini).

Salah satu yang ingin kuperkenalkan kepada anak-anakku adalah pesantren tempat aku menuntut ilmu dahulu, yakni Pondok Modern Gontor, di Ponorogo Jawa Timur. Aku ingin mereka menyaksikan sendiri bagaimana situasi pesantren itu. Selama ini mereka hanya mendengar dari ceritaku saja.

Akhirnya, kesempatan itu datang…!Read More »