CeritaLebaran #1
Sejak tinggal di Kweni, belum sekalipun kami melaksanakan shalat Idul Fitri di tempat lain. Rasanya, ingin juga sesekali merasakan shalat di luar Kweni. Setidaknya, bisa merasakan nuansa yang berbeda. Maka, setelah kami diskusikan beberapa hari jelang Idul Fitri tiba, akhirnya kami sepakat untuk menunaikan shalat ‘Id kali ini di Altar, alias Alun-alun Utara Yogyakarta.
Pukul 6 pagi kami sudah berangkat dari rumah. Sebab, berdasarkan pengumuman dari panitia, jamaah sudah diminta untuk bersiap pada pukul 06.30. Di samping itu, aku sudah dapat membayangkan betapa ramai dan macetnya lalu lintas ke sana nanti. Maka, berangkat lebih pagi tentu lebih baik.
Tidak sampai 15 menit perjalanan, kami sudah sampai di lokasi. Terlihat jamaah sudah mulai memadati alun-alun kebanggaan warga Yogyakarta tersebut. Dengan sedikit bergegas, akhirnya kami pun bisa mendapatkan shaf di barisan-barisan depan. Selang beberapa menit saja setelah itu, jamaah benar –benar sudah memadati lapangan yang sangat luas tersebut.
Aku tidak mengenali tokoh-tokoh penting siapa saja yang hadir di situ. Yang kutahu hanya Sri Sultan dan Pak Din Syamsuddin yang kebetulan menjadi khatib pada hari itu. Pak Din inilah yang menjadi salah satu motivasi kami untuk bershalat ‘Id di sana.
Isi khutbah Pak Din menurutku cukup menarik. Ada banyak hal yang beliau sampaikan berkenaan dengan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Beberapa hal yang dapat kucatat antara lain:
-
Idul Fitri merupakan momentum yang tepat untuk kembali kepada kesucian dan kekuatan. Kembali kepada kesucian artinya adalah kembali kepada kemurnian diri, tanpa dosa, tanpa tendensi apapun dalam hidup, hanya berharap kepada keridhaan Allah semata. Dan kekuatan maknanya adalah mengembalikan segala upaya kepada Sang Maha Kuasa dan tunduk pada aturanNya. Jika dua hal ini disatukan, maka kemenangan yang hakiki akan kita raih.
-
Ibadah puasa sesungguhnya adalah ajang untuk mengendalikan diri. Pengendalian diri itu tergambar dalam perilaku kita yang disebut dengan akhlak. Ada pepatah yang mengatakan:
اِنَّمَا الاُمَمُ الاَخْلَاقُ مَا بَقِيَتْ فَاِنْ هُمُ ذَهَبَتْ اَخْلَاقُهُمْ ذَهَبُوا
“Dengan akhlaq, suatu bangsa akan teguh. Bila akhlaqnya rusak, mereka pun rapuh”
Saat ini, nilai-nilai moral bangsa Indonesia sudah banyak yang tergerus. Yang dulunya ramah, kini menjadi gampang marah. Kita sangat gampang tersulut emosi. Hanya dengan sedikit isu, kita pun saling beradu. Semangat kegotongroyongan yang dulu menjadi ciri khas bangsa ini, sekarang tak lagi dapat dibanggakan. Kepentingan individual terasa begitu kentalnya. Sehingga, alih-alih membela kepentingan bangsa, justru kita terjebak dalam fanatisme buta.
-
Kebanggaan kita, terutama generasi muda pada bangsa ini sudah memudar. Kita justru bangga dan mengagungkan bangsa lain. Banyak yang merasa malu dengan identitasnya sendiri. Ini tentu tidaklah baik. Untuk maju, suatu bangsa harus bangga dengan identitasnya. Dengan kebanggaan tersebut, kita akan mampu berdiri tegak di hadapan bangsa-bangsa lain.
Tiga hal dari banyak poin yang disampaikan dalam khutbah Pak Din tersebut di atas, menurutku patut untuk direnungkan sebagai bahan muhasabah bagi kehidupan kita kedepannya. Semoga saja setelah nilai-nilai puasa yang kita dapatkan selama Ramadhan kemarin dapat terus terimplementasi dalam keseharian kita. Amiin…
Setelah selesai semua prosesi ibadah shalat Idul Fitri tersebut, kami pun bubar dan kembali ke rumah. Namun, ada pemandangan kurang sedap terlihat pasca shalat tersebut. Koran-koran bekas yang tadinya digunakan sebagai alas sajadah, berserakan di mana-mana. Padahal, panitia sudah menyediakan tempat khusus untuk membuangnya, bahkan dengan menempelkan tulisan besar-besar di situ.
Ah… ternyata, kebersihan masih belum menjadi bagian dari keimanan kita.. Sayang sekali.. 😦
Artikel ini diikutsertakan dalam#GiveAwayLebaran yang disponsori oleh Saqina.com, Mukena Katun Jepang Nanida, Benoa Kreati, Sanderm, Dhofaro, dan Minikinizz
selanjutnya:
- CeritaLebaran #2 : Mampir Sejenak di Candi Sambisari
- CeritaLebaran #3 : Waduk Sermo; Pengorbanan Yang Tak Sia-sia
- CeritaLebaran #4 : Kalibiru; Hutan Wisata Yang Narsisable
- CeritaLebaran #5 : Pantai Glagah: Antara Tenangnya Laguna dan Derasnya Ombak
Wah pasti ramai ya Mas
Banyak koran bekas di sana yak
Terima kasih repoirtasenya
Salam hangat dari Jombang
LikeLike
Sayang sekali ya kesadaran akan kebersihan masih kurang. Padahal apa susahnya ya kalo masing2 org ngebuang kertas koran ya sendiri sendiri…
LikeLike
Begitulah, Arman.. Sangat disayangkan..
Barangkali mereka berpikir, “ah, entar juga ada yang mulung”
Sebuah pemikiran yang tidak baik tentunya..
LikeLike
huaaahh..sayang yaa..kertas korannya gak diberesin 😦
klo di salah satu lapangan di Mataram sini yg saya lihat kertas2 korannya itu pada rebutan dikumpulin sama pemulung 🙂
LikeLike
Sebenarnya memang ada petugas kebersihan dan juga pemulung yang akan membersihkan. Namun, bukankah lebih baik bila dikumpulkan, sehingga bisa meringankan tugas mereka?
LikeLike
Lihat foto orang sholat di lapangan terbuka itu saya ingat kota Padang. Di Lapangan Imam Bonjol atau di halaman depan kantor Gubernur sering dilaksanakan sholat idul fitri dan idul adha.
Salamaik hari rayo da Vizon, maaf lahir batin.
LikeLike
Saya belum pernah beridul fitri di Kota Padang. Kalau tidak di Bukittinggi, ya Payakumbuh..
Maaf lahir batin pulo yo Alris..
LikeLike
sampai sekarang saya masih bingung, sebenernya apa sulitnya ya membuang sampah di tempatnya.. apalagi sampah koran yang sebelumnya dipakai oleh diri sendiri 😦
salam kenal ya mas vizon, terimakasih sudah ikutan #GiveAwayLebaran, sering2 ya main ke blogku http://www.heydeerahma.com 😉
=Dee=
LikeLike
[…] 23. Vizon (@hardivizon) – Shalat Idul Fitri 1436 H di Altar […]
LikeLike
[…] 23. Vizon (@hardivizon) – Shalat Idul Fitri 1436 H di Altar […]
LikeLike